Selasa, 28 Oktober 2008

Memilih Calon Negarawan atau Garong?


Wajah Lama Kemasan Baru

Daftar calon sementara (DCS) calon anggota legislatif dan DPD telah disebarluaskan kepada publik. Meski sosialisasi tergolong minim, toh masih ada masyarakat yang peduli atas DCS calon anggota legislatif yang dianggap bermasalah.

DCS balon caleg tampaknya belum terlalu mengalami perubahan yang berarti. Wajah-wajah lama masih bertengger di nomor urut pertama. Umumnya elite partai (para pengurus partai) menempati nomor urut jadi tersebut. Sayang, sebagian besar mereka berdomisili di Jakarta.

Kaitan dengan daerah pemilihan hanyalah kamuflase semata, sebatas tempat di mana seorang calon pernah dilahirkan. Secara artifisial, partai politik memandang latar belakang wilayah calon hanya sebatas "daerah kelahiran", bukan sebagai wilayah kerja politik.

Tentu secara mudah kita dapat membedakan antara daerah kelahiran dengan wilayah kerja politik. Sejak Pemilu 1999 penerapan daerah pemilihan (dapil) tidak berbanding lurus dengan kinerja politik anggota legislatif (DPR dan DPRD). Mereka bahkan kadang-kadang "lupa" dari mana mereka dipilih dahulu, ketika mereka harus "mengemis" suara kepada pemilih. Ini sebagai akibat kita tidak menganut pertanggungjawaban wakil terhadap yang diwakili.

Dapil hanyalah administrasi untuk memudahkan membagi kursi, membagi dana ke bawah para wakil rakyat ketika mereka reses, padahal hampir seluruh anggota DPR berdomisili di Jakarta. Ini adalah gejala pembodohan. Apalagi, struktur partai politik masih identik paralel dengan struktur pemerintahan, bukan diubah mengikuti pembagian daerah pemilihan.

Dengan kata lain, sistem pemilu, partai politik, parlemen, dan pemilu presiden yang kita anut tidak saling merajut, tetapi justru saling bertolak belakang.

Dilema Suara Terbanyak

Lihatlah betapa bodohnya para elite kita ketika merancang sistem proporsional daftar terbuka (SPDT) yang ternyata "malu-malu." Ini gambaran paling irrasional, karena prinsip utamanya dilanggar.

Seorang calon yang seharusnya berdasar suara terbanyak tingkat partai di suatu daerah pemilihan yang terpilih sebagai wakil rakyat, diubah dengan logika persentase 30 persen BPP agar dapat kembali ke nomor urut dalam penentuan calon terpilih.

Setelah partai menentukan nomor urut dalam DCS, ramai-ramai kader partai yang dapat nomor urut sepatu (nomor urut sulit untuk jadi), ada yang mundur dan ada yang membuat petisi. Lalu partai-partai politik berlomba-lomba membuat mekanisme internal bahwa yang akan dipilih adalah atas suara terbanyak. Caranya mudah, nomor urut pertama dan seterusnya mengundurkan diri karena memperoleh suara minimal.

Setidaknya sejumlah partai yang turut merancang UU No 10/2008 menghendaki pengembalian mekanisme ke suara terbanyak seperti PAN, PBB, Golkar, PDIP, dan lainnya. Bahkan, ada usul gila, merevisi UU No 10/2008 secara terbatas.

Inilah penyakit elite politik di negeri ini. Penyakit gaya politik kita, suka memanipulasi, gampang diatur, dan sebagainya. Padahal, merekalah yang merancang dan membuat UU No 10/2008, seperti saat ini mereka menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Presiden.

Dampak Keterwakilan

Dari sistem yang disusun, apa dampak bagi keterwakilan politik hasil Pemilu 2009. Ada empat dampak serius, pertama bahwa dari data hasil Pemilu 2004 hanya 0,36 persen yang memperoleh BPP, sisanya 99,54 persen ditentukan atas dasar nomor urut. Kemungkinan seperti ini tetap sama pada Pemilu 2009. Artinya, nomor urut 1, 2, dan 3 yang potensial akan memperoleh kursi.

Dampak kedua, partai politik tidak demokratis dalam menentukan nomor urut. Tidak ada proses demokrasi internal partai dalam merekrut calon anggota legislatif. Semuanya oligarkhis partai, karena partailah (tepatnya elite DPP partai) yang menentukan.

Ketiga, proses pengaderan mengalami hambatan, karena rekrutmen tidak mengikuti jalur kader partai. Bahkan, ada kecenderungan "lompat pagar," kader dan munculnya figur-figur populer sebagai pendulang suara. Semua itu justru merusak tatanan partai karena tidak ada pengaderan yang jelas.

Keempat, sejak awal ada kompetisi yang tidak fair, antara satu calon dan calon lain. Karena ada calon yang tidak perlu bekerja keras, peluangnya sudah 50 persen dapat dipastikan memperoleh kursi karena menempati nomor urut pertama.

Saya mencatat dampak yang paling serius, yaitu zero representation (kekosongan keterwakilan) bagi provinsi yang dapilnya lebih dari satu. Ini terjadi karena adanya mekanisme penghitungan sisa suara tahap III yang ditarik ke tingkat provinsi, sementara tidak ada daftar calon untuk tingkat provinsi, khususnya bagi provinsi yang memiliki dapil lebih dari satu. Lalu yang terpilih atas sisa suara tahap III itu mewakili konstituen yang mana?

Pertanyaannya, apa yang kita harapkan dengan sistem Pemilu 2009 yang "cacat" seperti itu? Kita jangan berangan-angan akan terjadi perubahan wajah wakil-wakil politik kita di parlemen. Sebagai contoh, ada seorang anggota parlemen yang tidak pernah datang dan ikut dalam rapat-rapat di DPR toh tetap saja dicalonkan kembali. Ada pula anggota-anggota lama yang terindikasi korupsi dan terseret namanya pada kasus BLBI pun partai tetap menjadikannya sebagai nomor urut jadi.

Gambaran suram wajah bopeng wakil rakyat kita di atas tentu memprihatinkan. Bayangkan, biaya pemilu yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. Demokrasi yang mahal dengan kualitas yang rendah justru dapat menyebabkan sebagian kita tidak percaya atas sistem ini.

Terlalu banyak inkonsistensi, sehingga ada anomali politik yang terus berulang. Kita seakan-akan sulit mencari sosok, partai, dan pemimpin manakah yang tulus memperjuangkan kepentingan bangsa ini, sebagai negarawan. Atau sebagai garong.

*. Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta

Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]