Selasa, 28 Oktober 2008

Setelah Neoliberalisme, Apa?


Bermula dari kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage), ekonomi Amerika terguncang karena tiba-tiba krisis merambah ke pasar uang. Nilai dolar AS merosot tajam. Saham-saham di Bursa Saham Amerika jatuh bangun bak roller coaster. Jatuhnya valuasi saham di AS memicu penurunan harga saham di seluruh dunia. Para investor panik, khawatir nilai saham mereka akan rontok. Sehingga, mereka cepat-cepat memindahkan asetnya ke bentuk investasi paling aman, yaitu US Treasury-Bills, obligasi pemerintah, dan emas.

Pengalihan investasi ke komoditas tambang dan pertanian membuat harganya melesat tajam sehingga menimbulkan gelombang inflasi. Situasi makin kompleks. Tiba-tiba pasar saham Amerika, simbol agung neoliberalisme, dinaungi awan hitam. Lehman Brothers dan Merrill Lynch mengakui bangkrut.

Sejumlah raksasa korporasi keuangan, lembaga sekuritas, dan penjamin kredit rontok satu per satu, mulai Bear Stearns, Fannie Mae dan Freddie Mac, IndyMac, hingga American International Group (AIG). Pasar saham global ikut-ikutan kolaps. Spiral panic selling menjalar ke mana-mana. Itu terjadi karena pemegang saham asal Negeri Paman Sam secara membabi buta menjual saham mereka.

Koreksi terhadap Liberalisme

Peristiwa tersebut mengingatkan orang pada great depression sekitar 1930-an. Setelah kejadian Kamis kelabu itu, sistem liberalisme -yang mengagungkan pasar ketimbang negara- dikoreksi tajam. Adalah John Maynard Keynes yang menggeledah kesalahan-kesalahan asumsi liberalisme klasik. Pasar yang dibiarkan bebas bergerak tanpa intervensi negara, menurut dia, tidak akan menemukan titik equilibrium-nya.

Keyakinan kaum liberalis bahwa tanpa campur tangan negara pasar dalam jangka panjang akan menciptakan titik keseimbangannya sendiri disanggah Keynes. Menurut dia, in the long run we are all dead (dalam jangka panjang kita semua akan mati). Kita akan mati sebelum pasar dapat mewujudkan hukum keseimbangannya.

Karena itu, sebelum semua orang tergeletak di liang kubur, negara harus bertindak. Caranya, negara harus membuat proyek-proyek yang bisa menyerap tenaga kerja dan menjalankan investasi sosial.

Dari peristiwa great depression, pendulum paradigma ekonomi bergeser, dari liberalisme klasik ke manajemen makroekonomi Keyneysian. Negara-negara yang terpengaruh gagasan Keynes membentuk welfare state di Eropa. Pada 1970-an, seiring dengan membubungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik, dan krisis minyak, Keynesianisme diserang sebagai biang terjadinya krisis ekonomi.

Adalah Friedrich Von Hayek dan Milton Friedman dari Chicago School yang kembali menghidupkan ajaran-ajaran liberalisme klasik Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823), dan Herbert Spencer (1820-1903) ke dalam ideologi "kanan baru" (new right). Ideologi tersebut kemudian dikenal sebagai neoliberalisme.

Keberhasilan Hayek dan Friedman dalam mendorong gelombang pengingkaran masal terhadap paradigma Keyneysian telah menganugerahi keduanya hadiah Nobel berturut-turut pada 1974 dan 1976.

Debut neoliberalisme melejit karena ditopang oleh rezim Reagan-Tatcherisme di Amerika dan Inggris. Salah satu revolusi yang dilancarkan dua kampiun neolib tersebut adalah liberalisasi pasar uang yang digalakkan besar-besar sejak 1970-an. Lembaga semacam New York Stock Exchange dan London Stock Exchange kemudian terbentuk di mana-mana.

Dalam tren baru itu, uang bukan lagi sekadar alat untuk menopang transaksi komoditas, melainkan sudah menjadi komoditas itu sendiri. Akibatnya, ketika krisis keuangan terjadi di jantung pasar uang dunia, tidak ada satu pun negara yang kebal krisis.

Krisis telah mengetatkan likuiditas karena dana-dana dari emerging market, yang berupa valuta dolar, dilarikan ke Negeri Paman Sam dan disimpan di US-T Bills. Suasana histeria yang sebagian sengaja diciptakan oleh para pialang saham turut menyumbang dalam terjadinya koreksi tajam indeks di bursa dunia.

Kembalinya Keynesianisme?

Ketika krisis ekonomi Amerika bermula dari krisis pasar uang, secara sangat kebetulan hadiah Nobel Ekonomi 2008 jatuh kepada seorang profesor ekonomi Keynesian, Paul Krugman. Dia adalah profesor ekonomi di Princeton University, AS. Dia dikenal dengan kritik-kritik tajamnya terhadap kebijakan Presiden George W. Bush yang ditudingnya telah membawa rakyat ke arah bencana ekonomi dan kebejatan moral.

Krisis finansial global yang terjadi sekarang, menurut Krugman, disebabkan kita menciptakan sistem keuangan yang tak terkendali. Pada 1999, dalam bukunya yang berjudul The Return of Depression Economics, Krugman meramalkan terjadinya krisis akibat liberalisasi yang tidak terbatas. Dia berkata, "The world economy has turned out to be a much more dangerous place than we imagined."

Dalam bukunya yang lain, The Great Unraveling (2004), Krugman menyatakan bahwa krisis ekonomi dipicu oleh munculnya ekonomi gelembung (bubbles economy) akibat tujuh mental investor yang merusak. Yaitu, mereka yang berpikir jangka pendek (think short term), rakus (be greedy), percaya bahwa banyak orang lain bodoh (believe in the greater fool), bermental kerumunan (run with the herd), gampang menyederhanakan masalah (overgeneralize), mengagungkan tren (be trendy), dan gemar memainkan uang orang lain (play with other people's money).

Rontoknya pasar saham menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kapitalisme Amerika Serikat dengan Wall Street sebagai pilar utamanya. Krisis terjadi akibat kombinasi dari moral hazard di kalangan industri keuangan Wall Street serta sikap menutup mata otoritas pasar finansial, moneter (Fed), dan pemerintah yang selama ini "diam-diam" bermain api dengan para pialang saham.

Setelah menelan pil pahit, dua kampiun neolib pembela liberalisasi pasar uang, yakni AS dan Inggris, akhirnya melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling. Apakah itu pertanda lonceng kematian neoliberalisme dan bangkitnya negara dalam paradigma ekonomi Keynesian? Sejarahlah yang akan membuktikan. Yang jelas, seorang pialang saham dunia, George Soros, telah membunyikan alarm bahwa krisis pasar finansial Amerika harus menjadi titik tolak untuk mengakhiri liberalisasi tanpa batas.

M. Kholid Syeirazi , tenaga ahli di DPR, Jakarta.

Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]