Kamis, 30 Oktober 2008
Test HTML
Selasa, 28 Oktober 2008
Setelah Neoliberalisme, Apa?
Pengalihan investasi ke komoditas tambang dan pertanian membuat harganya melesat tajam sehingga menimbulkan gelombang inflasi. Situasi makin kompleks. Tiba-tiba pasar saham Amerika, simbol agung neoliberalisme, dinaungi awan hitam. Lehman Brothers dan Merrill Lynch mengakui bangkrut.
Sejumlah raksasa korporasi keuangan, lembaga sekuritas, dan penjamin kredit rontok satu per satu, mulai Bear Stearns, Fannie Mae dan Freddie Mac, IndyMac, hingga American International Group (AIG). Pasar saham global ikut-ikutan kolaps. Spiral panic selling menjalar ke mana-mana. Itu terjadi karena pemegang saham asal Negeri Paman Sam secara membabi buta menjual saham mereka.
Koreksi terhadap Liberalisme
Peristiwa tersebut mengingatkan orang pada great depression sekitar 1930-an. Setelah kejadian Kamis kelabu itu, sistem liberalisme -yang mengagungkan pasar ketimbang negara- dikoreksi tajam. Adalah John Maynard Keynes yang menggeledah kesalahan-kesalahan asumsi liberalisme klasik. Pasar yang dibiarkan bebas bergerak tanpa intervensi negara, menurut dia, tidak akan menemukan titik equilibrium-nya.
Keyakinan kaum liberalis bahwa tanpa campur tangan negara pasar dalam jangka panjang akan menciptakan titik keseimbangannya sendiri disanggah Keynes. Menurut dia, in the long run we are all dead (dalam jangka panjang kita semua akan mati). Kita akan mati sebelum pasar dapat mewujudkan hukum keseimbangannya.
Karena itu, sebelum semua orang tergeletak di liang kubur, negara harus bertindak. Caranya, negara harus membuat proyek-proyek yang bisa menyerap tenaga kerja dan menjalankan investasi sosial.
Dari peristiwa great depression, pendulum paradigma ekonomi bergeser, dari liberalisme klasik ke manajemen makroekonomi Keyneysian. Negara-negara yang terpengaruh gagasan Keynes membentuk welfare state di Eropa. Pada 1970-an, seiring dengan membubungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik, dan krisis minyak, Keynesianisme diserang sebagai biang terjadinya krisis ekonomi.
Adalah Friedrich Von Hayek dan Milton Friedman dari Chicago School yang kembali menghidupkan ajaran-ajaran liberalisme klasik Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823), dan Herbert Spencer (1820-1903) ke dalam ideologi "kanan baru" (new right). Ideologi tersebut kemudian dikenal sebagai neoliberalisme.
Keberhasilan Hayek dan Friedman dalam mendorong gelombang pengingkaran masal terhadap paradigma Keyneysian telah menganugerahi keduanya hadiah Nobel berturut-turut pada 1974 dan 1976.
Debut neoliberalisme melejit karena ditopang oleh rezim Reagan-Tatcherisme di Amerika dan Inggris. Salah satu revolusi yang dilancarkan dua kampiun neolib tersebut adalah liberalisasi pasar uang yang digalakkan besar-besar sejak 1970-an. Lembaga semacam New York Stock Exchange dan London Stock Exchange kemudian terbentuk di mana-mana.
Dalam tren baru itu, uang bukan lagi sekadar alat untuk menopang transaksi komoditas, melainkan sudah menjadi komoditas itu sendiri. Akibatnya, ketika krisis keuangan terjadi di jantung pasar uang dunia, tidak ada satu pun negara yang kebal krisis.
Krisis telah mengetatkan likuiditas karena dana-dana dari emerging market, yang berupa valuta dolar, dilarikan ke Negeri Paman Sam dan disimpan di US-T Bills. Suasana histeria yang sebagian sengaja diciptakan oleh para pialang saham turut menyumbang dalam terjadinya koreksi tajam indeks di bursa dunia.
Kembalinya Keynesianisme?
Ketika krisis ekonomi Amerika bermula dari krisis pasar uang, secara sangat kebetulan hadiah Nobel Ekonomi 2008 jatuh kepada seorang profesor ekonomi Keynesian, Paul Krugman. Dia adalah profesor ekonomi di Princeton University, AS. Dia dikenal dengan kritik-kritik tajamnya terhadap kebijakan Presiden George W. Bush yang ditudingnya telah membawa rakyat ke arah bencana ekonomi dan kebejatan moral.
Krisis finansial global yang terjadi sekarang, menurut Krugman, disebabkan kita menciptakan sistem keuangan yang tak terkendali. Pada 1999, dalam bukunya yang berjudul The Return of Depression Economics, Krugman meramalkan terjadinya krisis akibat liberalisasi yang tidak terbatas. Dia berkata, "The world economy has turned out to be a much more dangerous place than we imagined."
Dalam bukunya yang lain, The Great Unraveling (2004), Krugman menyatakan bahwa krisis ekonomi dipicu oleh munculnya ekonomi gelembung (bubbles economy) akibat tujuh mental investor yang merusak. Yaitu, mereka yang berpikir jangka pendek (think short term), rakus (be greedy), percaya bahwa banyak orang lain bodoh (believe in the greater fool), bermental kerumunan (run with the herd), gampang menyederhanakan masalah (overgeneralize), mengagungkan tren (be trendy), dan gemar memainkan uang orang lain (play with other people's money).
Rontoknya pasar saham menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kapitalisme Amerika Serikat dengan Wall Street sebagai pilar utamanya. Krisis terjadi akibat kombinasi dari moral hazard di kalangan industri keuangan Wall Street serta sikap menutup mata otoritas pasar finansial, moneter (Fed), dan pemerintah yang selama ini "diam-diam" bermain api dengan para pialang saham.
Setelah menelan pil pahit, dua kampiun neolib pembela liberalisasi pasar uang, yakni AS dan Inggris, akhirnya melarang investor keuangan melakukan aksi spekulasi short selling. Apakah itu pertanda lonceng kematian neoliberalisme dan bangkitnya negara dalam paradigma ekonomi Keynesian? Sejarahlah yang akan membuktikan. Yang jelas, seorang pialang saham dunia, George Soros, telah membunyikan alarm bahwa krisis pasar finansial Amerika harus menjadi titik tolak untuk mengakhiri liberalisasi tanpa batas.
M. Kholid Syeirazi , tenaga ahli di DPR, Jakarta.
REDSKINS KALAH?
Mengamati Pemilu Amerika 2008
Perjalanan saya bersama 97 delegasi dari 82 negara dalam IVLP (International Visitor Leadership Program) Pemilu Amerika Serikat (AS) 2008 ini dibuka dengan keterkejutan data. Sebagaian masyarakat AS percaya bahwa pertandingan football klub Redskins yang bermarkas di Washington DC ikut menentukan sebagai indikasi siapa pemenang pemilu.
Pertandingan Redskins sebagai home (tuan rumah) terakhir menjelang pemilu AS, kalah, menang, atau seri akan membawa tanda tersendiri. Dari 18 kali pemilu terakhir presiden AS, ramalan data tersebut setara 94,4% akurat. Kalau Redskins kalah atau seri, incumbent akan kalah. Jika mereka menang, incumbent bakal menang.
Pertama saya tidak percaya dan berusaha menghubung-hubungkan antara potensi-korelasi yang ada. Sebagai mantan anggota KPU Jatim, sepengetahuan saya, keputusan memilih memang dipengaruhi banyak faktor. Dan, amat mungkin terjadi di detik-detik terakhir sebelum masuk bilik suara.
Saya sadari setelah membaca statistik pertandingan Redskins, itu bisa sangat menakutkan bagi para kandidat kalau para pemilih percaya hal tersebut. Bayangkan saja, misalnya, pemilih yang belum menentukan pilihannya (swing voters) akan ditentukan oleh pertandingan Redskins melawan Pittsburg Steelers pada Senin malam, 3 November nanti, kurang lebih tujuh jam sebelum pemilihan dimulai.
Dalam pemetaan politik, negara bagian AS dibagi menjadi tiga kategori, strong democrats, strong republics, dan swing. Sistem yang dipakai di AS memungkinkan pemenang mengambil seluruh alokasi kursi walaupun selisih sedikit atau yang popular disebut winner takes all.
Perebutan negara bagian yang selisih suaranya tipis atau yang sering disebut battleground state akan jadi sangat menarik. Nevada, Colorado, New Mexico, Missouri, Indiana, Ohio, Virginia, North Carolina, dan Florida setara dengan 118 kursi electoral colleagues atau 21,8 persen total suara electoral colleagues yang diperebutkan.
Colorado, misalnya, battleground state yang kami kunjungi lusa, Presiden Bush menang 51 persen suara pemilih pada 2000 dan 52 persen pada 2004. Tetapi, seperti catatan pada hasil pemilihan pendahuluan internal partai Demokrat pada pertengahan 2008 yang populer disebut primary election, Senator Obama menang dramatis 67 persen atas pesaingnya, Senator Hillary Clinton. Ditambah faftor naiknya jumlah pemilih pemula, 13 persen di seluruh Colorado, kampanye tentang perubahan yang dibawa Obama sangat tajam bermanfaat di battleground state itu.
Kembali tentang Washington Redskins. Olahraga football (bukan sepak bola seperti di Indonsia) ini -sejenis rugby di Inggris- itu sangat populer bersama bisbol dan basket.
Bisa dibayangkan, rata-rata penonton NFL (National Football League/PSSI Amerika Serikat) adalah 66.000 orang tiap pertandingan. Pertandingan home Redskins memegang rekor tertinggi. Dalam delapan pertandingan home, total jumlah penonton adalah 711.471! Atau, setara dengan 88.900 di stadion penonton tiap pertandingan.
Misalnya, tercatat pada 6 November 1984, Redskins dalam pertandingan kandang mengalahkan New Orleans Saints 27-24. Artinya, diprediksi, incumbent akan menang -Presiden Ronald Reagan saat itu sudah dua periode- dan benar, Wakil Presiden Bush (Republik) menang melawan Michael Dukakis (Demokrat).
Pada 1 November 1992, Redskins kalah dari New York Giants 24-7, incumbent diprediksi kalah. Itu juga benar. Pada 3 November, sang incumbent Presiden Bush (Republik) kalah dari Bill Clinton (Demokrat).
Di 27 Oktober 1996, Redskins mengalahkan Indianapolis Colts 31-16. Dalam prediksi, incumbent menang, dan benar! Presiden Bill Clinton, sang incumbent (Demokrat), menang melawan Senator Bob Dole (Republik).
Prediksi tersebut sejak 1936 selalu cocok, kecuali pada 2004. Saat itu prediksi meleset. Sebanyak 17 kali tepat, sekali meleset. Apakah itu punya korelasi terhadap perilaku memilih para swing voters? Yang kemungkinan detik terakhir akan mudah berpindah-pindah dari satu hati ke lain hati? Melengkapi polling terakhir GALLUP yang memperkirakan Senator Obama menang, mari kita tunggu Redskins kalah.
*. Didik Prasetiyono, saat ini berada di Amerika Serikat menjadi delegasi Indonesia dalam IVLP (International Visitor Leadership Program) on I-VOTE; Observing US Election 2008 di Washington DC, Denver, Springfield, dan Boston.
Memilih Calon Negarawan atau Garong?
Daftar calon sementara (DCS) calon anggota legislatif dan DPD telah disebarluaskan kepada publik. Meski sosialisasi tergolong minim, toh masih ada masyarakat yang peduli atas DCS calon anggota legislatif yang dianggap bermasalah.
DCS balon caleg tampaknya belum terlalu mengalami perubahan yang berarti. Wajah-wajah lama masih bertengger di nomor urut pertama. Umumnya elite partai (para pengurus partai) menempati nomor urut jadi tersebut. Sayang, sebagian besar mereka berdomisili di Jakarta.
Kaitan dengan daerah pemilihan hanyalah kamuflase semata, sebatas tempat di mana seorang calon pernah dilahirkan. Secara artifisial, partai politik memandang latar belakang wilayah calon hanya sebatas "daerah kelahiran", bukan sebagai wilayah kerja politik.
Tentu secara mudah kita dapat membedakan antara daerah kelahiran dengan wilayah kerja politik. Sejak Pemilu 1999 penerapan daerah pemilihan (dapil) tidak berbanding lurus dengan kinerja politik anggota legislatif (DPR dan DPRD). Mereka bahkan kadang-kadang "lupa" dari mana mereka dipilih dahulu, ketika mereka harus "mengemis" suara kepada pemilih. Ini sebagai akibat kita tidak menganut pertanggungjawaban wakil terhadap yang diwakili.
Dapil hanyalah administrasi untuk memudahkan membagi kursi, membagi dana ke bawah para wakil rakyat ketika mereka reses, padahal hampir seluruh anggota DPR berdomisili di Jakarta. Ini adalah gejala pembodohan. Apalagi, struktur partai politik masih identik paralel dengan struktur pemerintahan, bukan diubah mengikuti pembagian daerah pemilihan.
Dengan kata lain, sistem pemilu, partai politik, parlemen, dan pemilu presiden yang kita anut tidak saling merajut, tetapi justru saling bertolak belakang.
Dilema Suara Terbanyak
Lihatlah betapa bodohnya para elite kita ketika merancang sistem proporsional daftar terbuka (SPDT) yang ternyata "malu-malu." Ini gambaran paling irrasional, karena prinsip utamanya dilanggar.
Seorang calon yang seharusnya berdasar suara terbanyak tingkat partai di suatu daerah pemilihan yang terpilih sebagai wakil rakyat, diubah dengan logika persentase 30 persen BPP agar dapat kembali ke nomor urut dalam penentuan calon terpilih.
Setelah partai menentukan nomor urut dalam DCS, ramai-ramai kader partai yang dapat nomor urut sepatu (nomor urut sulit untuk jadi), ada yang mundur dan ada yang membuat petisi. Lalu partai-partai politik berlomba-lomba membuat mekanisme internal bahwa yang akan dipilih adalah atas suara terbanyak. Caranya mudah, nomor urut pertama dan seterusnya mengundurkan diri karena memperoleh suara minimal.
Setidaknya sejumlah partai yang turut merancang UU No 10/2008 menghendaki pengembalian mekanisme ke suara terbanyak seperti PAN, PBB, Golkar, PDIP, dan lainnya. Bahkan, ada usul gila, merevisi UU No 10/2008 secara terbatas.
Inilah penyakit elite politik di negeri ini. Penyakit gaya politik kita, suka memanipulasi, gampang diatur, dan sebagainya. Padahal, merekalah yang merancang dan membuat UU No 10/2008, seperti saat ini mereka menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Presiden.
Dampak Keterwakilan
Dari sistem yang disusun, apa dampak bagi keterwakilan politik hasil Pemilu 2009. Ada empat dampak serius, pertama bahwa dari data hasil Pemilu 2004 hanya 0,36 persen yang memperoleh BPP, sisanya 99,54 persen ditentukan atas dasar nomor urut. Kemungkinan seperti ini tetap sama pada Pemilu 2009. Artinya, nomor urut 1, 2, dan 3 yang potensial akan memperoleh kursi.
Dampak kedua, partai politik tidak demokratis dalam menentukan nomor urut. Tidak ada proses demokrasi internal partai dalam merekrut calon anggota legislatif. Semuanya oligarkhis partai, karena partailah (tepatnya elite DPP partai) yang menentukan.
Ketiga, proses pengaderan mengalami hambatan, karena rekrutmen tidak mengikuti jalur kader partai. Bahkan, ada kecenderungan "lompat pagar," kader dan munculnya figur-figur populer sebagai pendulang suara. Semua itu justru merusak tatanan partai karena tidak ada pengaderan yang jelas.
Keempat, sejak awal ada kompetisi yang tidak fair, antara satu calon dan calon lain. Karena ada calon yang tidak perlu bekerja keras, peluangnya sudah 50 persen dapat dipastikan memperoleh kursi karena menempati nomor urut pertama.
Saya mencatat dampak yang paling serius, yaitu zero representation (kekosongan keterwakilan) bagi provinsi yang dapilnya lebih dari satu. Ini terjadi karena adanya mekanisme penghitungan sisa suara tahap III yang ditarik ke tingkat provinsi, sementara tidak ada daftar calon untuk tingkat provinsi, khususnya bagi provinsi yang memiliki dapil lebih dari satu. Lalu yang terpilih atas sisa suara tahap III itu mewakili konstituen yang mana?
Pertanyaannya, apa yang kita harapkan dengan sistem Pemilu 2009 yang "cacat" seperti itu? Kita jangan berangan-angan akan terjadi perubahan wajah wakil-wakil politik kita di parlemen. Sebagai contoh, ada seorang anggota parlemen yang tidak pernah datang dan ikut dalam rapat-rapat di DPR toh tetap saja dicalonkan kembali. Ada pula anggota-anggota lama yang terindikasi korupsi dan terseret namanya pada kasus BLBI pun partai tetap menjadikannya sebagai nomor urut jadi.
Gambaran suram wajah bopeng wakil rakyat kita di atas tentu memprihatinkan. Bayangkan, biaya pemilu yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. Demokrasi yang mahal dengan kualitas yang rendah justru dapat menyebabkan sebagian kita tidak percaya atas sistem ini.
Terlalu banyak inkonsistensi, sehingga ada anomali politik yang terus berulang. Kita seakan-akan sulit mencari sosok, partai, dan pemimpin manakah yang tulus memperjuangkan kepentingan bangsa ini, sebagai negarawan. Atau sebagai garong.
*. Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta
Welcome
Hello every body, dimanapun anda berada
Selamat datang di blog saya
Harapan saya, semoga melalui blog ini kita bisa saling
bertukar informasi
Komunikasi yang akan terbangun nantinya semoga akan
memberikan manfaat buat kita.
Terimakasih atas kunjungan anda
salam hangat
Selamat datang di blog saya
Harapan saya, semoga melalui blog ini kita bisa saling
bertukar informasi
Komunikasi yang akan terbangun nantinya semoga akan
memberikan manfaat buat kita.
Terimakasih atas kunjungan anda
salam hangat
Berlangganan Postingan [Atom]